Abstrak: Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) adalah suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Pendidikan kecakapan hidup di SD difokuskan pada General Life Skill (GLS) yang mencakup kesadaran diri atau kecakapan personal (self awareness), kecakapan berpikir rasional (thinking skill) dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa GLS merupakan fondasi kecakapan hidup yang akan diperlukan untuk mempelajari kecakapan hidup berikutnya dan bahkan untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari, apa pun kegiatan seseorang. Kecakapan vokasional (vocational skill) juga dikembangkan namun barulah pada tahap awal. Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD dapat mempertimbangkan beberapa yaitu: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit. Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.
Abstract: Life skill education is an education that provides learners with life skill to face life’s problem, to live the life without feeling any pressures and find the solution and to be able to handle the problem. An education that can combine various lessons to become life skill that is needed by everyone, wherever she/he is, employed or unemployed and whatever the occupation is. With those capital life skill, the fresh graduate students can solve the problem of life, including to find and create job field for those who cannot continue their study. Life skill education in Elementary School is focused in General Life Skill (GLS) that consist of self awareness, thinking skill, and social skill. This is based on the idea that GLS is the basic of life skill which is needed to learn about the next life skill and to be ready to get into the “real life”, whatever the activities are. Vocational skill is also being developed but still in beginning level. The implementation of life skill in Elementary School is considered in some models: (1) integrative model, (2) complementative model, and (3) discreet model. Whatever the model is, the important thing is the life skill learning has to placed the students as subject in study. Students have the opportunity to study actively, mentally as well as physically, and these can be achieved if learning environment is made to be confortable and fun for the students.
Kata Kunci: Kecakapan Hidup, pendidikan, implementasi, kendala, Sekolah Dasar
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kebutuhan yang mendesak dan penting, lebih-lebih bila dikaitkan dengan konteks global, nasional, maupun regional. Dalam konteks global dapat ditegaskan bahwa pada saat ini (abad 21), dunia sedang berada pada abad pengetahuan. Segala sesuatu lebih bertumpu atau berbasis pengetahuan; dan hal-hal yang tidak berbasis pengetahuan akan segera tergeser dan terpinggirkan. Peter Drucks mengemukakan, keberhasilan masyarakat berpengetahuan akan menggantikan dominasi masyarakat informasi dan industrial, masyarakat pertanian (pra-industrial), dan masyarakat pra-pertanian. Dengan demikian, orang-orang tanpa pengetahuan dan kecakapan hidup akan tergeser dan terpinggirkan, sebab mereka tidak akan mampu berperan dalam berbagai aktivitas utama kehidupan manusia yang berbasis pengetahuan dan kecakapan hidup (Tim Peneliti Universitas Negeri Malang, 2002).
Betapa penting dan sentralnya modal pengetahuan dan intelektual (termasuk kecakapan hidup) dalam abad pengetahuan ditegaskan oleh Amstrong (2002). Dengan modal pengetahuan dan kecakapan hidup yang berkualitas dan unggul, setiap orang akan mampu berperan secara berarti dalam suatu bidang kehidupan, termasuk dalam dunia kerja, serta memiliki kemampuan untuk berkembang. Hal ini mengimplikasikan bahwa manusia berpengetahuan dan berkecakapan hidup akan menjadi manusia yang unggul dan mampu berkembang, sedangkan manusia yang tidak memiliki modal pengetahuan dan kecakapan hidup akan terbelakang.
Relevan dengan apa yang telah dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal manusia telah dianggap aset paling utama kualitas pertumbuhan dan pembangunan yang akan mendatangkan kesejahteraan. Begitu juga dengan penegasan Kendall dan Marzano (1997) yang memastikan bahwa kecakapan hidup (life skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif dalam lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang.
Negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tengah memasuki dunia tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi, dampak globalisasi komunikasi, dan kesepakatan-kesepakatan internasional. Adanya kesepakatan perdagangan bebas AFTA mulai tahun 2003 dan NAFTA mulai 2020 (untuk negara maju mulai 2010), membuka peluang masuknya tenaga kerja dari luar negeri yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, ke dalam dunia kerja di Indonesia; dan hal ini jelas mengancam keberadaan tenaga kerja Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki kecakapan hidup yang memadai untuk memasuki kesempatan kerja yang ada. Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa keterbukaan negara dan masyarakat Indonesia terhadap berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan komunikasi, telah menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup yang bermutu.
Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM Indonesia telah dikemukakan di berbagai forum maupun media massa. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia, khususnya pada peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun. Pada tahun 1996, Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997 naik ke urutan 99, namun merosot lagi ke urutan 105 pada tahun 1998, dan semakin merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Data yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara yang disurvai. Lebih dari 60% tenaga Indonesia hanya lulusan SD/MI atau tidak tamat SD/MI.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah hingga tahun 1998/1999 masih ada sekitar 0,9 juta anak usia 7-12 tahun yang tidak berada pada sistem persekolahan karena tidak mendaftar sekolah dan/atau putus sekolah (Jalal dan Supriadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk miskin di desa tertinggal dan daerah kumuh perkotaan yang tidak mampu membiayai pendidikan bagi anak-anaknya. Di samping itu, terbatasnya sarana transportasi terutama di pulau-pulau terpencil merupakan kendala bagi penduduk untuk menjangkau layanan pendidikan. Walaupun jumlah 1,2 juta tidak terlalu besar, namun hal ini tidak dapat diabaikan karena menyangkut hak setiap anak Indonesia untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Masalah lain yaitu masih banyaknya siswa yang mengulang kelas. Analisis Kohort menunjukkan bahwa hanya 60,1% siswa SD/MI yang berhasil menyelesaikan pendidikannya selama 6 tahun, sebanyak 24,1% dalam 7 tahun, 5,2% dalam 8 tahun, dan selebihnya dalam 9 tahun atau putus sekolah (Jalal dan Supriadi, 2001). Masalah besarnya proporsi siswa yang mengulang kelas atau putus sekolah ini merupakan realitas sosial yang perlu segera mendapatkan respon cepat dan tepat dari berbagai pihak untuk mengatasinya (Anonim, 2002).
Di Jawa Timur, NEM Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Profil Pendidikan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa rerata NEM provinsi pada tahun pelajaran 2000/2001 adalah 32,76 untuk SD, 29,58 untuk MI, 33,61 untuk SLTP, dan 34,17 untuk MTs (Dinas Pendidikan Jawa Timur, 2001).
Masalah di atas masih ditambah lagi dengan fakta bahwa sebagian besar tamatan pendidikan dasar dan menengah umum tidak dapat terserap ke dalam dunia kerja. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah: (1) jumlah angkatan kerja yang hanya tamatan pendidikan dasar dan menengah umum jauh lebih besar daripada kesempatan kerja yang ada, (2) angkatan kerja tamatan pendidikan dasar dan menengah umum kalah bersaing dengan angkatan kerja tamatan pendidkan menengah khusus dan pendidikan profesional dalam memasuki lapangan kerja, karena kecakapan yang mereka miliki sangat minim dan terbatas, (3) kecakapan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas khususnya dunia kerja yang ada di masyarakat tidak sesuai dengan kecakapan yang dimiliki tamatan pendidikan dasar dan menengah umum (Saryono, Djoko, 2002). Hal-hal tersebut menyebabkan para lulusan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif, apalagi keunggulan kompetitif.
Saryono, Djoko (2002) juga mengemukakan bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh adanya empat kecenderungan utama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah umum, yaitu: (1) pendidikan dasar dan menengah umum memang dirancang berdasarkan paradigma kebutuhan tingkat tinggi (high based-education) dan sekolah berorientasi akademis-intelektual, oleh sebab itu siswa tidak pernah disiapkan untuk memasuki lapangan kerja, apalagi membuka dan menciptakan lapangan kerja, (2) sistem pembelajaran mengabaikan kecakapan (techne atau praxis) yang perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, (3) akibat kecenderungan pertama dan kedua tersebut, sekolah pada umumnya tidak memiliki, apalagi mengembangkan, suatu program bimbingan karir alternatif yang dapat membekali siswa dengan kecakapan tertentu di samping kemampuan akademis, dan (4) sekolah pada umumnya tidak dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari secara antisipatoris sehingga seolah-olah sekolah terlepas dan terpisah dari dunia sekelilingnya.
Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan yang mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Tahun 2001 Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), yaitu suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002).
Apakah Pendidikan Kecakapan Hidup?
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.
Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup. Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.
Menurut Depdiknas (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).
Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).
Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education0, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).
Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun – dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).
Pendidikan Kecakapan Hidup di SD dan Problematikanya
Pendidikan kecakapan hidup di SD difokuskan pada General Life Skill (GLS) yang mencakup kesadaran diri atau kecakapan personal (self awareness), kecakapan berpikir rasional (thinking skill) dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa GLS merupakan fondasi kecakapan hidup yang akan diperlukan untuk mempelajari kecakapan hidup berikutnya dan bahkan untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari, apa pun kegiatan seseorang. Kecakapan vokasional (vocational skill) juga dikembangkan namun barulah pada tahap awal (Depdiknas, 2002).
Berdasarkan Depdiknas (2002) juga dikemukakan bahwa kemampuan mengenal diri sendiri (self awareness) mencakup: (1) penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, serta (2) menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan kecakapan berpikir rasional (thinking skill) mencakup: (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching), (2) kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skills), serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Selanjutnya kecakapan sosial atau kecakapan interpersonal (social skill) mencakup: (1) kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill), dan (2) kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ada beberapa prinsip umum dan mendasar dalam pelaksanaan pendidikan berorientasi kecakapan hidup di semua jenjang pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut hendaknya benar-benar dipedomani semua pihak yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian implementasi pendidikan kecakapan hidup.
Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, Djoko: 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.
Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.
Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.
Berkaitan dengan implementasi pendidikan kecakapan hidup, ada baiknya dipertimbangkan juga berbagai problematika berupa kendala yang sangat mungkin dihadapi di lapangan, mengingat konsep pendidikan kecakapan hidup ini merupakan konsep yang relatif baru sehingga belum sepenuhnya dipahami baik oleh pelaksana pendidikan maupun masyarakat luas pada umumnya.
Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua.
Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.
Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.
Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.
Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.
Selanjutnya, khusus di SD/MI, kendala utama pengembangan pendidikan kecakapan hidup adalah guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurikulum masih terpusat serta tidak sesuai dengan aset unggulan daerah, fasilitas kurang memadai serta tidak seragam, dan kurang dukungan dunia usaha/industri serta pemerintah.
Jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang sangat mungkin dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan kecakapan hidup itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan temuan di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Implementasi pendidikan kecakapan hidup di sekolah, khususnya SD, tidak akan berhasil dengan baik bila berbagai kendala di atas, terutama yang terkait dengan faktor guru, belum diatasi lebih dahulu.
Keberhasilan implementasi pendidikan kecakapan hidup tidak hanya bergantung pada model yang digunakan, namun juga sangat bergantung pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat minimal yang harus diupayakan untuk masing-masing model. Model-model implementasi di atas sifatnya adalah kondisional, oleh sebab itu pihak sekolah perlu memilih dan menggunakannya secara hati-hati sesuai dengan kondisi, kemampuan, dan keinginan sekolah beserta seluruh stakeholder-nya. Model mana pu yang dipilih, implementasi pendidikan kecakapan hidup membutuhkan suatu reorientasi kurikulum, pembelajaran, dan penilaian (Saryono, Djoko, 2002). Selain itu juga memerlukan reformasi manajemen sekolah, budaya sekolah, dan peningkatan hubungan sekolah dengan masyarakat.
Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD harus ditangani secara hati-hati, serius, dan cermat. Kesalahan dalam penanganan hanya akan memunculkan masalah baru dalam pendidikan di SD. Sebaliknya penanganan yang benar akan membuat sebagian besar permasalah pendidikan di SD sekaligus permasalah sosial-ekonomi masyarakat dapat diatasi. Ini berarti keberhasilan atau kegagalannya sangat bergantung pada para pelaku pendidikan itu sendiri, pakar-pakar pendidikan, birokrat, dan semua stakeholder pendidikan.
Penutup
GBHN 1999 menegaskan perlunya diversifikasi kurikulum yang dapat melayani keanekaragaman kemampuan sumberdaya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulum menjamin hasil pendidikan yang dapat membentuk masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, serta berdaya saing untuk maju dan sejahtera (Suharyono, 2001).
Sebagai paradigma dan perspektif baru penyelenggaraan pendidikan di sekolah, khususnya SD, pendidikan kecakapan hidup merupakan perluasan konsepsi, fungsi, dan peranan pendidikan perssekolahan untuk meningkatkan kebermaknaan dan kegunaan pendidikan bagi masyarakat, dunia kerja, dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan kecakapan hidup merupakan salah satu wujud solusi atas permasalahan pendidikan sekaligus sosial-ekonomis masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Amstrong, Thomas. Terjemahan T. Hermaya. 2002. Kind sof Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anonim. 2002. Kecakapan Hidup Bersinergi Kontekstual. Majalah UNESA. Nomer 13 Tahun III, Agustus-September.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Editor. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Suharyono. 2001. Kurikulum Masa Depan: Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Gentengkali. Vol 3 Nomer 11 dan 12: 46.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.